Tausiyah Bimbingan Islam
📙 Madzi Dan Wadi Yang Sedikit Itu Dimaafkan?
Pertanyaan :
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Ustadz, apakah benar bahwa madzi dan wadi yang sedikit itu dimaafkan? Kami pernah membaca sebuah buku yang menyatakan bahwa Imam Ahmad pernah berpendapat bahwa madzi dan wadi yang sedikit itu dimaafkan.
Kondisi ini kami alami sendiri, soalnya sering merasa keluar sesuatu dari (maaf) kemaluan. Mohon pula solusinya.
(Dari Hamba Allah Anggota Grup WA Bimbingan Islam).
Jawaban :
وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته
Berdasarkan apa yang telah sampai kepada kami, semua jenis najis yang sukar untuk dihindari maka dimaafkan.
Dalam banyak buku-buku fiqih memang dicantumkan pembahasan tentang jenis-jenis najis yang dimaafkan. Dalil akan hal ini sangat banyak, salah satunya ialah :
أن خولة بنت يسار أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله إنه ليس لي ثواب واحد، وأنا أحيض فيه، فكيف أصنع؟ قال: إذا طهرت فاغسليه ثم صلي فيه. فقالت: فإن للم يخرج الدم؟ قال: يكفيك غسل الدم ولا يضرك أثره
Bahwa Khaulah binti Yasar datang kepada nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, wahai rasulullah sesungguhnya aku hanya memiliki satu pakaian. Dan aku haid di atas pakaian itu apa yang harus aku lakukan ?. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Apabila engkau telah suci cucilah pakainmu lalu shalatlah dengannya. Khaulah bertanya, jika darahnya tidak hilang ?. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda ; Cukup bagimu air dan tidak mengapa jika masih ada bekas darah”. (Shahih Sunan Abu Dawud : 365).
Namun para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini, sebagian mengatakan najis yang sedikit itu dimaafkan. Sebagian yang lain menyatakan bahwa najis itu baik banyak maupun sedikit tetap diperintahkan untuk menghilangkannya, namun najis yang sukar untuk dihilangkan masuk ke dalam kondisi darurat. Disebutkan di dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah Quwaitiyyah :
اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي مَسَائِل الْعَفْوِ عَنِ النَّجَاسَاتِ تَبَعًا لاِخْتِلاَفِهِمْ فِي ضَوَابِطِ الْعَفْوِ عَنِ النَّجَاسَاتِ وَتَبَعًا لاِخْتِلاَفِهِمْ فِي التَّقْدِيرَاتِ الَّتِي اعْتَبَرُوهَا لِلتَّمْيِيزِ بَيْنَ الْكَثِيرِ وَالْيَسِيرِ
“Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat dalam masalah “najis-najis yang dimaafkan”. Beda pendapat ini muncul sebagai imbas dari perbedaan mereka didalam menentukan standard penentuan najis-najis yang dimaafkan, dan sebagai imbas juga dari perbedaan mereka didalam menentukan kadar najis yang digunakan untuk memilah mana najis yang sedikit dan mana najis yang banyak”. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah : 38/226).
Dan berkaitan dengan pertanyaan di atas, kami mendapati di dalam sebuah buku yang membahas fiqih Hanbali disebutkan di sana beberapa jenis najis yang dimaafkan diantaranya :
– Sisa najis setelah dicuci
– Darah atau nanah yang sedikit
– Keringat baghal dan keledai
– Madzi dimaafkan jika hanya sedikit, karena ia banyak terdapat pada para pemuda. Dst
(lihat Fiqhul Ibadat ‘Ala Madzhab Hanbali : 54).
Pandangan madzhab Hanbali tentang madzi ini senada dengan pandangan madzhab Maliki yang dinukil di dalam Mausu’ah Kuwaitiyyah sbb :
وَعَدَّ الْمَالِكِيَّةُ مِنَ الْمَعْفُوِّ عَنْهُ مَا يَأْتِي: أ – سَلَسُ الأَْحْدَاثِ كَبَوْلٍ أَوْ غَائِطٍ أَوْ مَذْيٍ أَوْ وَدْيٍ أَوْ مَنِيٍّ إِذَا سَال شَيْءٌ مِنْهَا بِنَفْسِهِ، فَلاَ يَجِبُ غَسْلُهُ عَنِ الْبَدَنِ أَوِ الثَّوْبِ أَوِ الْمَكَانِ الَّذِي لاَ يُمِكُنُ
“Madzhab Maliki menganggap termasuk najis yang dimaafkan ialah : hadas yang keluar terus-menerus tanpa kendali seperti air kencing atau tinja atau madzi atau wadzi atau air mani apabila ia mengalir dengan sendirinya, maka tidak wajib dicuci dari badan, atau pakaian atau lokasi yang tidak memungkinkan”. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah : 40/113).
Mengenai ukuran najis yang sedikit dimaafkan, berapa ukuran sedikit ini ? sebagian ulama mengatakan najis yang dimaafkan itu ialah najis yang luasnya tidak melebihi ukuran keping dirham. Dan sebagian lagi mengatakan ukuran sedikit ini dikembalikan kepada ‘Urf/kebiasaan masyarakat masing-masing daerah.
Wallahu a’lam
Referensi :
Shahih Sunan Abu Dawud oleh Al-Imam Al-Albani.
Al-Mausu’ah Al-Fiqh
📙 Menunda Kehamilan Sebab Menuntut Ilmu Syar’i
Pertanyaan :
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Semoga Alloh melimpahkan rahmatnya kepada antum, Ustadz. Apakah diperbolehkan bagi seorang istri untuk menunda kehamilan dengan sebab alasan sedang kuliah ilmu syar’i di sebuah ma’had islami? Syukron Lakum
(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam)
Jawaban :
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Terimakasih atas pertanyaannya, semoga Allah senantiasa memberkahi anti, mencintai anti sebagai mana anti mencintai agama-Nya.
Adapun pertanyaan apakah boleh seorang istri menunda kehamilan karena ingin menyelesaikan belajar di ma’had islami terlebih dahulu ? jawabnya boleh menunda kehamilan dengan cara-cara halal untuk terwujudnya kemaslahatan.
Syariat islam sangat menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan agar semakin bertambah kekuatan kaum muslimin. Dan kelak nabi shalallahu alaihi wa sallam akan membanggakan banyaknya jumlah umat beliau di akhirat. Beliau bersabda :
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الأمم
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku akan membanggakan di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasai : 3227, Abu Dawud : 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwaul Ghalil : 1784).
Hanya saja boleh hukumnya menertibkan kehamilan, menjaga jarak kehamilan atau menunda kehamilan demi untuk merealisasikan suatu kemaslahatan asalkan dilakukan dengan cara-cara yang halal. Diantaranya dengan cara Al-’Azlu (menumpahkan air mani di luar kemaluan). Disebutkan di dalam shahih Muslim sebuah riwayat :
عن حديث جابر رضي الله عنه قال: جاء رجل من الأنصار إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال: إن لي جارية هي خادمتنا وسانيتنا وأنا أطوف عليها وأنا أكره أن تحمل، فقال:”اعزل عنها إن شئت، فإنه سيأتيها ما قدر لها”.
“Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, datang seorang lelaki Anshar kepada rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, sesungguhnya aku memiliki budak wanita yang selalu membantu kami dan menurut pada kami, aku thawaf pun bersama dia dan aku enggan jika dia hamil. Maka nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, lakukanlah ‘Azl pada dia jika engkau ingin sesungguhnya apa yang telah ditaqdirkan untuk dia pasti akan datang padanya”. (Shahih Ibnu Hiban : 4194).
Al-Imam An-Nawawi juga berkata tentang hukum ‘Azl ini :
الْعَزْل هُوَ أَنْ يُجَامِع فَإِذَا قَارَبَ الإِنْزَال نَزَعَ وَأَنْزَلَ خَارِج الْفَرْج ، وَهُوَ مَكْرُوه عِنْدنَا فِي كُلّ حَال ، وَكُلّ اِمْرَأَة ، سَوَاء رَضِيَتْ أَمْ لا لأَنَّهُ طَرِيق إِلَى قَطْع النَّسْل , وَلِهَذَا جَاءَ فِي الْحَدِيث تَسْمِيَته ( الْوَأْد الْخَفِيّ ) لأَنَّهُ قَطْع طَرِيق الْوِلادَة كَمَا يُقْتَل الْمَوْلُود بِالْوَأْدِ . وَأَمَّا التَّحْرِيم فَقَالَ أَصْحَابنَا : لا يَحْرُم. ثُمَّ هَذِهِ الأَحَادِيث مَعَ غَيْرهَا يُجْمَع بَيْنهَا بِأَنَّ مَا وَرَدَ فِي النَّهْي مَحْمُول عَلَى كَرَاهَة التَّنْزِيه ، وَمَا وَرَدَ فِي الإِذْن فِي ذَلِكَ مَحْمُول عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ بِحَرَامٍ ، وَلَيْسَ مَعْنَاهُ نَفْي الْكَرَاهَة” اهـ باختصار .فالأولى بالمسلم أن لا يفعل ذلك إلا إذا احتاج إليه كما لو كانت المرأة مريضة لا تتحمل الحمل أو يشق عليها أو يضرها تتابع الحمل ، ولأن في العزل تفويتاً لبعض مقاصد النكاح وهو تكثير النسل والولد ، وفيه تفويت لكمال لذة المرأة
“‘Azl ialah seseorang melakukan jimak ketika telah dekat waktu keluar mani ia menumpahkan mani di luar kemaluan. ‘Azl ini makruh hukumnya di sisi kami pada semua keadaan pada semua wanita, baik wanita ini sedang menyusui maupun tidak. Karena ‘Azl ini adalah metode untuk memotong keturunan, oleh karenanya tersebut dalam hadis penyebutan untuk nama lain ‘Azl ini “Al-Wa’dul Khofi/Aborsi Terselubung”.
Karena ia memotong jalan untuk kelahiran anak sebagaimana bayi yang diaborsi. Adapun jika dikatakan ‘Azl ini haram, para sahabat kami mengatakan ; tidak haram. Kemudian hadis-hadis ini dikumpulkan semuanya dan hadis yang menyebutkan adanya larangan ‘Azl ini dibawa kepada makna makruh tanzih. Dan hadis yang menyebutkan adanya izin untuk melakukan ‘Azl ini dibawa kepada hukum tidak haram”. (10/9).
Dan mengenai hukum seorang
Bayati
Sumber: https://bimbinganislam.com/hukum-menggambar-karikatur/
akang ilmu agama yang kuat serta aqidah yang kokoh, sehingga kita mengkhawatirkan diri kita akan terpengaruh buruknya filsafat ini, maka haram hukumnya.
Beban biaya, tenaga, waktu fikiran yang telah dikerahkan tidak ada artinya sama-sekali jika dibandingkan dengan keselamatan agama kita. Karena agama adalah nikmat terbesar dalam hidup kita. Semua kenikmatan dunia tidak ada kebaikannya sama sekali jika agama kita rusak.
Hanya diperlukan tekat yang kuat, do’a serta keikhlasan untuk meninggalkan hal-hal yang mengundang murka Allah dengan menanggung segala resikonya. Namun semua resiko ini yakin Allah pasti akan menggantinya dengan ganti yang lebih baik, nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا للهِ إلاَّ أَبْدَلَكَ اللهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya engkau tidak akan pernah meninggalkan sesuatu karena mengharap ridha Allah melainkan pasti Allah akan mengganti untukmu ganti yang jauh lebih baik”. (HR Ahmad : 5/363 dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah : 1/62).
Adapun jika seseorang mempelajari filsafat karena dipaksa atau merupakan keharusan di kampus di sisi lain ia memiliki latar belakang ilmu agama yang kuat yang akan melindunginya. Atau ia mempelajarinya karena ingin membantahnya, maka hal ini diperkecualikan dari hukum asli akan haramnya ilmu filsafat ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid :
وينبغي أن يستثنى من التحريم دراستها لأهل الاختصاص ؛ لبيان ما فيها من الانحراف ، والرد على ما تثيره من الباطل .إذا كانت دراسة الفلسفة إلزامية ، فينبغي أن تحذر من اعتقاد شيء من باطلها ، أو الافتتان برجالاتها ، وأن تجدّ في طلب العلم الشرعي ، لا سيما ما يتصل بعلم العقيدة ، حتى يكون لديك حصانة ومنَعة من الشبهات .نسأل الله لك التوفيق والسداد .
“Dan selayaknya diperkecualikan dari hukum haramnya mempelajari ilmu filsafat ini untuk para pakar ilmu agama, dalam rangka untuk menjelaskan penyimpangan yang ada di dalamnya. Serta membantah syubhat yang ditebarkan oleh ahli batil.
Apabila pelajaran filsafat ini menjadi sesuatu yang diharuskan, maka wajib bagi engkau untuk waspada terhadap keyakinan-keyakinan batil di dalamnya, serta waspada dari terpesona dengan para ahli filsafat. Dan engkau harus mengimbanginya dengan mempelajari ilmu syar’i secara tekun, terutama yang berkaitan dengan ilmu aqidah. Dengan begitu engkau memiliki benteng kuat yang akan menghalau syubhat-syubhat filsafat. Dan hanya kepada Allah kami memohonkan taufik serta kebaikan untuk dirimu”. (Fatwa Islam No. 11884).
Wallahu a’lam
Referensi :
Majmu’ Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Al-I’tisham oleh Al-Imam Asy-Syatibi
Lisanul Mizan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani
Syarah Aqidah Thawiyah oleh Al-Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafi
Silsilah Ahadits Ash-Shahihah oleh Al-Imam Al-Albani
Fatwa Islam no. 11884.
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Abul Aswad Al Bayati
Sumber: https://bimbinganislam.com/belajar-ilmu-filsafat-di-kampus/
sallam, 03 Dzul Qo’dah 1431 H / 11 Oktober 2010 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Kesimpulan
Bila itu adat /urf (kebiasaan) masyarakat setempat, maka tidak mengapa namun bila bukan adat kebiasaan maka akan menimbulkan sedikit perbedaan yang itu menyolok maka hendaknya menjaga kehati-hatian adalah yang lebih baik.
▪▪▪▪▪▪▪
Situs : https://salafiyunpad,wordpress,com/2010/10/11/hukum-jilbab-bermotif-warna-terang/
Wallahu a’lam.
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Abul Aswad Al Bayati
Sumber: https://bimbinganislam.com/pakaian-warna-warni-muslimah/
بيُّ بثيابٍ فيها خَميصةُ سوداءُ صغيرةٌ فقال:« مَن تَرَون أن نكسوَ هذهِ »؟ فسكتَ القومُ. قال:« ائتُوني بأمِّ خالدٍ »، فأتيَ بها تُحمل، فأخذ الخميصةَ بيدهِ فألبَسَها وقال: أبْلِي وأخلِقي. وكان فيها عَلمٌ أخضرُ أو أصفر »
Nabi diberikan baju-baju, diantaranya ada khomiisoh kecil yang berwarna hitam. Maka nabipun berkata, “Menurut kalian kepada siapakah kita berikan kain ini?”. Orang-orang pada diam, lalu Nabi berkata, “Datangkanlah kepadaku Ummu Kholid !”, maka didatangkanlah Ummu Kholid dalam keadaan diangkat (karena masih kanak-kanak, lihat Umdatul Qoori 31/473-pent), lalu Nabipun mengambil kain tersebut dengan tangannya lalu memakaikannya kepada Ummu Kholid dan berkata, “Bajumu sudah usang, gantilah bajumu”. Pada kain tersebut ada garis-garis (corak) berwarna hijau atau kuning. (HR Al-Bukhari no 5485, Abu Dawud no 4024, dan Ahmad no 26517).
Adapun warna hijau untuk pakaian para wanita maka telah absah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasanya Rifa’ah menceraikan istrinya maka istrinyapun dinikahi oleh Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Qurozhi. Aisyah radhiallahu ‘anhaa berkata,
وعليها خِمارٌ أخضر، فشكَتْ إليها، وأرَتها خُضرةً بجلدها
“Ia memakai khimar berwarna hijau, maka iapun mengadu kepada Aisyah dan memperlihatkan kepada Aisyah adanya warna kehijau-hijauan di kulitnya….” (HR Al-Bukhari no 5487).
Adapun pakaian berwarna merah maka hanya boleh untuk kaum wanita dan tidak boleh bagi kaum lelaki. Dalilnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَالَ:« أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ » قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ:« بَلْ احْرِقْهُمَا
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam melihatku memakai dua belah baju yang mu’ashfar. Maka Nabi berkata, “Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?”. Aku berkata, “Aku cuci kedua baju ini?”, Nabi berkata, “Bahkan bakarlah kedua baju itu” (HR Muslim no 5436).
Dan yang dimaksud dengan dua buah baju mu’ashfar adalah dua baju yang dicelup dengan celupan berwarna merah (atau dicelup dengan warna kuning yang terbuat dari tumbuhan tertentu-pent). Imam An-Nawawi berkata tentang sabda Nabi “Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?” : Maknanya adalah ini termasuk pakaian para wanita, model, dan akhlak mereka” (Syarh Shahih Muslim 14/55).
Beliau juga berkata : “Adapun perintah Nabi untuk membakar baju tersebut maka –dikatakan- karena sebagai hukuman dan sikap keras terhadapnya dan terhadap orang lain agar meninggalkan perbuatan seperti ini. Hal ini semisal dengan perintah Nabi kepada wanita yang telah melaknat ontanya agar sang wanita melepaskan onta tersebut…”
Dalil yang lain yang menunjukan akan hal ini adalah hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,
هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وآله وسَلَّم مِنْ ثَنِيَّةٍ فالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَليَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُرِ فقال: مَا هذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ، فأَتَيْتُ أهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُون تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فقال: يَا عَبْدَ اللهِ مَا فَعَلْتَ الرَّيْطَةَ، فأَخْبَرْتُهُ، فقال: ألاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أهْلِكَ فإنَّهُ لاَ بَأْس بِهِ لِلنِّسَاءِ »
“Kami turun bersama Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dari Tsaniyyah. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan keadaan memakai pakaian lembut yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau bertanya: “Apa ini yang engkau pakai?” Maka akupun mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukainya. Akupun mendatangi keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan baju itu ke dalamnya.
Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya. Beliau bertanya: “Bagaimana nasib bajumu?” Maka aku ceritakan apa yang aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kenapa engkau tidak memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603, Ahmad: 6813 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 4066).
Adapun pakaian berwarna putih
📒 Ucapan Salam Saat Ziarah Kubur
Pertanyaan :
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Mohon penjelasannya, ucapan salam seperti apa kalo kita mau berziarah ke kuburan.
Terimakasih
Dari Makdin S di Tangerang Anggota Grup WA N05 G-14
Jawaban :
وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته
Ada beberapa riwayat, tapi tidak ada perbedaan lafal yang berarti.
Berikut saya sampaikan 2 hadits yang berkenaan dengan doa saat ziarah kubur.
Disebutkan dalam kisah ‘Aisyah yang membuntuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke pekuburan Baqi’ dalam sebuah hadits yang panjang, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah,
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين، وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Ya Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kubur-ed)?” Rasulullah menjawab, “Katakanlah : Assalamu’alaykum wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang dating kemudian. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian” (HR. Muslim (3/14), Ahmad (6/221), An Nasa’I (1/286), dan Abdurrazzaq (no. 6712))
“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat) jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian” (HR. Muslim no. 974)
Allahu a’lam..
Wabillahit taufiq…
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah
Sumber: https://bimbinganislam.com/ucapan-salam-saat-ziarah-kubur/
🔴 Live Now bimbinganislam.com 07.30 - 08.30
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1988303141409264&id=1653504698222445
👤 Ustadz Ammi Nur Baits
Tema : Siapa Tuhanmu, Apa Agamamu, Siapa Nabimu
Masjid Al-Huda, Yogyakarta
hnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban)” [Al-Isra’: 36]
Jika kita tidak menjaga lisan kita, yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk sarana yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan”.(Tirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292))
Sehingga karena saking sulitnya menjaga lisan, Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ : مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada di antara dua bibirnya (yaitu lisannya), dan apa yang ada di antara kedua kakinya (yaitu kemaluannya), maka aku jamin surga baginya”. (Muttafaq ‘alaih)
Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia, sehingga tidak ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia”. (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)
GHIBAH YANG DIBOLEHKAN
Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar, yang sesuai syari’at, yang tujuan tersebut tidak mungkin bisa dicapai kecuali dengan ghibah itu”. (Bahjatun Nadzirin 3/33)
Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair :
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
“Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran”
Pertama : Pengaduan
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”. Dalilnya firman Allah:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya”. [An-Nisa’ : 148].
Kedua : Minta Bantuan Untuk Mengubah Kemungkaran Dan Mengembalikan Pelaku Kemaksiatan Kepada Kebenaran
Maka seseorang boleh berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram.
Ketiga : Meminta Fatwa
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzolim padaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya.
Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata kepada si muft, qodhi, atau hakim: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدٌ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ لِلنَّبِيِّ : إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ,
📒 Hukum Menonton Infotainment
Pertanyaan : Ustadz, mohon dijelaskan bahaya kecanduan infotaiment (berghibah).
Terima Kasih
Dari Melanie di Balikpapan Anggota Grup WA Bimbingan Islam T04- 8319
Jawaban :
Bismillah
Tidak boleh menonton infotaimant karena sama dengan mendengarkan ghibah dan ikut dalam berghibah. Selain itu hukum yang menyertainya adalah zina mata, dan ini adalah hukum yang tak dapat dihindari.
HUKUM MENDENGARKAN GHIBAH
Imam Nawawi berkata di dalam Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu, kalau dia tidak takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah tersebut jika hal itu memungkinkan.
Jika dia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan yang lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya.
Jika dia terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk istima’(mendengarkan) dan isgho’ (mendengarkan dengan seksama) pembicaraan ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu.
Setelah itu maka tidak dosa baginya mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu, jika memang keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu). Namun jika memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan majelis” (Bahjatun Nadzirin 3/29,30)
Dan meninggalkan majelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
“Dan apabila mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya”. [Al-Qashash : 55]
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna”. [Al-Mu’minun :3]
Bahkan sangat dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya sekedar mencegah gibah tersebut, tetapi untuk membela kehormatan saudaranya tersebut, sebagaimana sabda Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجْهَهُ النَّارَ
“Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat”
(HR At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450)
Demikian juga pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang dighibahi, mereka akan membelanya, sebagaimana dalam hadits-hadits berikut:
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُنِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : ذَلِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ : لاَ تَقُلْ ذَلِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Dari ‘Itban bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, di
umandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat ‘Isya) atau seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.
Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya kalau seandainya ada orang yang sesudah sholat Maghrib justru mengerjakan sholat sunnah rowatib (ba’diyah maghrib) maka tidak ada lagi sholat jamak yang bisa dilakukannya karena ketika itu dia telah menjadikan sholat yang dilakukannya tadi (sunnah rowatib) sebagai pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan ‘Isya) (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 567-569).
Wallohu a’lam
Wabillahi taufiq
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah
Sumber: https://bimbinganislam.com/kebiasaan-menjama-sholat-maghrib-karena-macet/
📒 Kebiasaan Menjama’ Sholat Maghrib Karena Macet
Pertanyaan :
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Bagaimana hukumnya kalau sholat maghribnya sering di jama’? Karena kebanyakan di Jakarta yang kerja di kantor biasanya waktu maghrib masih di jalan dan sampai rumah sudah masuk waktu isya.
Syukron
Dari Virna Anggota Grup WA Bimbingan Islam T04-20
Jawaban :
وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته
Menjama’ sholat boleh akan tetapi jika terdapat uzur syar’i, dan karena jama’ sholat itu bagian dari rukhshoh maka tidaklah tepat jika dibiasakan dan dirutinkan tanpa ikhtiar yang maksimal untuk sholat tepat waktu.
Dan kitapun tidak boleh tasahhul (mengampangkan) untuk selalu melakukan rukhshoh tersebut. karena alangkah baiknya sholat wajib bisa dilakukan disaat waktu sholat wajib tiba, bisa disiasati dengan berhenti di rest area saat mendekati adzan maghrib, atau menghindari tol dalam kota jika dikhawatirkan macet, sebab di tol dalam kota tidak ada rest area, agar bisa sholat di masjid-masjid yang bertebaran di ibu kota.
Memang jama’ diperbolehkan tapi bagi yang benar benar membutuhkan, tapi bagi pertanyaan anti lebih baik tidak boleh dijama karena anti bisa siasati waktu atau atur waktu. Contoh kalau anti tahu waktu magrib hampir tiba, anti bisa berhenti untuk melaksakan sholat magrib, dan itu lebih baik daripada menjama’, karena kita bisa relakan waktu tertunda untuk pulang demi mendahulukan kepentingan Allah. Apalagi di Jakarta ini banyak tempat-tempat ibadah mushola dan masjid.
Pengertian Menjamak Sholat
Menjamak adalah menggabungkan salah satu diantara dua sholat dengan sholat yang lainnya. Pengertian ini sudah mencakup jamak taqdim maupun jamak ta’khir. Pada pernyataan ‘menggabungkan salah satu sholat dengan sholat yang lainnya’ yang dimaksud dengan pengertian ini adalah sholat yang boleh digabungkan/dijamak antara keduanya, maka tidaklah termasuk dalam pengertian ini misalnya menggabungkan antara sholat ‘ashar dengan sholat maghrib, karena jenis sholat maghrib berbeda dengan jenis sholat ‘ashar, sholat ‘ashar termasuk sholat nahariyah (yang dikerjakan di waktu siang) sedangkan sholat maghrib termasuk jenis sholat lailiyah (yang dikerjakan di waktu malam). Begitu pula tidak termasuk dalam pengertian ini menggabungkan antara sholat ‘Isyak dengan sholat Fajar (shubuh), karena waktu keduanya terpisah satu sama lain.
(Syarhul Mumti’ karya Syaikh Al Utsaimin, jilid 4 halaman 547. Kitab Sholat: Bab Sholatnya orang yang mendapat udzur).
Penyebab Dijamaknya Sholat
Secara umum ada tiga sebab yang membolehkan seseorang melakukan jama’ yaitu: karena safar, karena hujan dan karena suatu hajat khusus/tersendiri (bukan karena safar atau hujan) (lihat Al Wajiz fii Fiqhi Sunnati wal Kitabil ‘Aziiz karya Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi, penerbit Daar Ibnu Rajab cetakan I halaman 139-141).
Selain tiga sebab di atas ada juga sebab yang lain yaitu karena sakit yang menyebabkan dia susah untuk mengerjakan kedua sholat itu secara terpisah, karena tanah sepanjang perjalanan menuju Masjid dipenuhi lumpur sehingga menyulitkan perjalanan ke sana atau karena tiupan angin dingin yang sangat keras sehingga menghambat perjalanan ke masjid.
Syaikh Al Utsaimin menyimpulkan bahwa sebab yang membolehkan jamak adalah: safar, sakit, hujan, timbunan lumpur, angin dingin yang bertiup kencang, akan tetapi bukan berarti sebabnya hanya lima perkara ini saja, karena itu sekedar contoh bagi pedoman umum (yang membolehkan jamak) yaitu karena adanya al masyaqqah (kesulitan). Oleh karena itu pula seorang wanita yang terkena istihadhah (penyakit keluarnya darah dari kemaluan wanita secara terus menerus) diperbolehkan untuk menjamak antara sholat Zhuhur dengan ‘Ashar atau antara sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak karena kesulitan yang menimpanya jika harus berwudhu untuk setiap kali hendak sholat. Begitu juga dibolehkan jamak bagi seorang musafir apabila sumber air letaknya amat jauh sehingga menyulitkannya apabila harus pergi ke sana setiap kali hendak sholat (diringkas dari Syarhul Mumti’ halaman 553-559).
Hukum Menjamak Sholat
Di antara beberapa perbedaan pendap
istri yang menunda kehamilan karena ingin belajar, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid berkata :
فالأولى بالمسلم أن لا يفعل ذلك إلا إذا احتاج إليه كما لو كانت المرأة مريضة لا تتحمل الحمل أو يشق عليها أو يضرها تتابع الحمل ، ولأن في العزل تفويتاً لبعض مقاصد النكاح وهو تكثير النسل والولد ، وفيه تفويت لكمال لذة المرأة
“Yang lebih utama bagi seorang muslim ialah ia jangan melakukan ‘Azl ini kecuali dalam keadaan ia membutuhkan seperti misalnya sang wanita sedang sakit dan tidak mampu menahan beratnya masa kehamilan, atau akan terkena madharat jika ia hamil secara beruntun. Dan karena di dalam ‘Azl ini terdapat unsur penghilangan beberapa tujuan menikah yatitu memperbanyak keturunan dan anak, dan terdapat penghilangan slah satu unsur kesempurnaan seorang wanita”. (Fatwa Islam No. 12529).
Di sisi lain kegiatan menuntut ilmu syar’i baik itu di ma’had atau di tempat lain adalah kegiatan yang sangat agung dan mulia, ia tidak akan mampu ditandingi oleh amal shalih manapun selaku pelakunya benar-benar ikhlas mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan berniat ingin menyingkirkan kejahilan dari diri dan orang lain. Maka tidak mengapa insya’Allah bagi si istri tadi untuk menunda kehamilan demi terwujudnya cita-cita yang mulia ini. Al-Imam Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menyatakan :
ومن أعظم الجهاد: سلوك طرق التعلّم والتعليـم؛ فإن الاشتغـال بذلك لمن صحـت نيـتـه لا يوزنه عمل من الأعمال، لما فيه من إحياء العلم والدين، وإرشاد الجاهلين، والدعوة إلى الخير، والنهي عن الشر، والخير الكثير الذي لا يستغني العباد عنه؛ فمن سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل له به طريقاً إلى الجنة
“Dan diantara bentuk jihad yang paling agung adalah menempuh jalan untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya. Karena menyibukan diri dengan kedua hal tersebut bagi yang lurus niatnya maka tidak bisa ditandingi oleh amal manapun. Karena di dalamnya terdapat usaha untuk menghidupkan ilmu dan agama, menunjuki orang-orang jahil, menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaran serta kebaikan yang sangat banyak sekali yang sangat dibutuhkan oleh semua hamba. Dan barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan mudahkan jalan baginya ke syurga”. (Al-Fatawa As-Sa’diyah, Masalah ke-9 : 45).
Meski demikian jika memungkinkan untuk menggabungkan antara dua kebaikan menuntut ilmu di mahad dan memiliki anak sekaligus, inilah yang terbaik. Inilah cahaya di atas cahaya. Kita menuntut ilmu agama di ma’had, di sisi yang lain kita juga mengasuh dan mendidik anak di atas sunnah rasulillah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan betapa banyak kisah nyata baik di zaman dahulu maupun zaman sekarang tentang para penunutut ilmu yang mampu menggabungkan dua kebaikan ini. Namun masing-masing manusia dimudahkan untuk menempuh apa yang Allah mudahkan baginya.
Wallahu a’lam.
Referensi :
Shahih Ibnu Hiban oleh Al-Imam Al-Albani.
Syarah Shahih Muslim oleh Al-Imam An-Nawawi
Al-Fatawa As-Sa’diyah oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
Fatwa Islam no.12529
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Abul Aswad Al Bayati
Sumber: https://bimbinganislam.com/menunda-kehamilan-sebab-menuntut-ilmu-syar-i/
📒 Hukum Menggambar Karikatur
Pertanyaan :
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Bagaimana hukum gambar karikatur yang banyak terdapat di koran-koran dan majalah, di mana di dalamnya terdapat gambar manusia?
(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam N04-64)
Jawaban :
وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته
Semua gambar makhluk hidup yang bernyawa baik gambar manusia maupun binatang semuanya haram dan terlarang di dalam syariat islam. Baik itu terdapat di koran, majalah, pakaian, dan lain-lain. Dan ia termasuk kemungkaran yang sudah terlanjur menyebar luas di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin. Semua hal terlarang yang terlanjur menyebar luas di kalangan kaum muslimin bukan berarti lantas diperbolehkan. Namun tetap harus diperingatkan dengan cara yang baik, penuh hikmah dan bijaksana. Berikut beberapa dalil yang menerangkan haramnya gambar-gambar bernyawa :
1. Hadis pertama
أشدّ الناس عذاباً يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله
“Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang meniru ciptakan Allah”. (HR Bukhori : 5954, dan Muslim : 1106).
2. Hadis kedua
إن اصحاب هذه الصور يعذبون يوم القيامة، يقال لهم: أحيو ما خلقتم
“Sesungguhnya para penggambar gambar-gambar ini akan diazab kelak di hari kiamat dan dikatakan kepada mereka : Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan”. (HR Bukhari : 5961).
3. Hadis ketiga
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا عَبَّاسٍ إِنِّي إِنْسَانٌ إِنَّمَا مَعِيشَتِي مِنْ صَنْعَةِ يَدِي وَإِنِّي أَصْنَعُ هَذِهِ التَّصَاوِيرَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَا أُحَدِّثُكَ إِلَّا مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ سَمِعْتُهُ يَقُولُ مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا فَرَبَا الرَّجُلُ رَبْوَةً شَدِيدَةً وَاصْفَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ وَيْحَكَ إِنْ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَصْنَعَ فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ سَمِعَ سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ مِنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ هَذَا الْوَاحِدَ
Dari Sa’id bin Abi Al Hasan berkata; Aku pernah bersama Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu ketika datang seorang kepadanya seraya berkata; Wahai Abu ‘Abbas, aku adalah seorang yang mata pencaharianku adalah dengan keahlian tanganku yaitu membuat lukisan seperti ini. Maka Ibnu ‘Abbas berkata: Aku tidaklah menyampaikan kepadamu perkataan melainkan dari apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang Beliau bersabda: Siapa yang membuat gambar lukisan, Allah akan menyiksanya hingga dia meniupkan ruh (nyawa) kepada gambarnya itu dan sekali-kali dian tidak akan bisa mendatangkanhya selamanya. Maka orang tersebut sangat ketakutan dengan wajah yang pucat pasi lalu berkata: Bagaimana pendapatmu kalau aku tidak bisa meninggalkannya kecuali tetap menggambar? Dia (Ibnu ‘Abbas) berkata: Gambarlah olehmu pepohonan dan setiap sesuatu yang tidak memiliki nyawa. (HR. Bukhari : 2225).
Semua gambar makhluk hidup ini haram berdasarkan dalil-dalil di atas, dan masih banyak dalil-dalil yang lain. Disamping efek buruk kelak di akhirat ternyata gambar-gambar ini juga menimbulkan efek buruk di dunia berupa tidak masuknya malaikat rahmat ke dalam rumah yang terdapat di dalamnya gambar makhluk hidup. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتاً فِيهِ كَلْبٌ، وَلاَ صُورَةٌ تَمَاثِيلُ
“Para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat di dalamnya anjing, gambar bernyawa serta patung”. (HR Bukhari : 3053, Muslim : 2106).
Maka dari itu Al-Imam Alh Khatabi menyatakan :
والصورة التي لا تدخل الملائكة البيت الذي هي فيه ما يحرم اقتناؤه ، وهو ما يكون من الصور التي فيها الروح ، مما لم يقطع رأسه
“Dan gambar yang para malaikat tidak masuk ke dalam rumah karena keberadaan gambar tersebut ialah gambar dari makhluk yang memiliki ruh, dari gambar yang tidak dipotong kepalanya”. (Fathul Bari : 10/382). Wallahu a’lam
Referensi :
Fatwa Islam No. 137174
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Abul Aswad Al
📒 Belajar Ilmu Filsafat Di Kampus
Pertanyaan :
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
Ustadz, mohon dijelaskan tentang bagaimana hukum mempelajari ilmu filsafat di kuliah padahal jurusannya bukan filsafat? Ketika kita ingin meninggalkan kuliah setelah mengetahui bahwa filsafat itu haram, lantas bagaimana pertimbangan kita dengan biaya, tenaga, dan waktu yang telah dikeluarkan? Apakah hal tersebut tetap berdosa karena tersistem? Lalu bagaimana hukumnya jika kita mempelajari filsafat untuk mengetahui keburukan agar kita bisa membantah mereka dengan dalil syar’i?
Jazakumulloh Khoiron
(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam).
Jawaban :
وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته
Wa antum jazakumullahu khairan, semoga Allah menunjukkan kepada kita jalan kebenaran dan kita diberikan kekuatan untuk mengikutinya. Dan semoga Allah menunjukkan kepada kita kebatilan serta memberikan kekuatan pada kita untuk menjauhinya.
Hukum mempelajari ilmu filasafat/ilmu kalam adalah HARAM. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata tentang ilmu filsafat ini :
حكمي في أهل الكلام أن يضربوا بالجريد والنعال ، ويطاف بهم في العشائر والقبائل ، ويقال هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأقبل على الكلام
“Menurutku hukuman untuk orang yang mempelajari ilmu kalam mereka hendaknya dipukuli dengan sendal dan pelepah kurma. Kemudian diarak keliling kepada suku-suku dan qabilah-qabilah sembari dikatakan ; inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu menerima dan mempelajari ilmu kalam”. (Lihat Majmu’ Fatawa : 1/468).
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata juga tentang filsafat :
لا يفلح صاحب كلام أبداً، ولا نكاد نرى أحداً نظر في الكلام إلا وفي قلبه دغل
“Tidak akan beruntung pemilik ilmu kalam selama-lamanya, dan hampir tidak kita dapati ada orang yang mempelajari ilmu kalam kecuali di hatinya mesti ada kesesatan”. (Lihat Al-I’tishom : 3/237).
Diantara sebab utama diharamkannya ilmu filsafat ini ialah seringkali filsafat lebih suka mendahulukan kesimpulan akalnya dari pada tunduk kepada keputusan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan kesudahan dari orang-orang yang mengedepankan akalnya adalah kebingungan. Ini dia Abu Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Razi salah satu tokoh ilmu filsafat yang sudah mencapai drajat tinggi di dalam ilmu kalam, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkomentar tentang dia :
له تشكيكات على مسائل من دعائم الدين تورث الحيرة، وكان يورد شبه الخصم بدقة ثم يورد مذهب أهل السنة على غاية من الوهاء
“Dia ini (Ar-Razi) memiliki keragu-raguan dalam banyak permasalahan pokok-pokok agama sehingga mengakibatkan munculnya kebingungan. Dia biasa menyebutkan syubhat dengan sangat rinci, kemudian di sisi lain dia menyebutkan madzhab ahlis sunnah dengan sangat buruk”. (Lisanul Mizan : 4/426).
Apa kesudahan yang didapat oleh master ilmu filsafat ini. Kita simak pengakuan Ar-Razi sendiri tentang hasil yang ia dapatkan setelah mati-matian mempelajari ilmu filsafat yang identik dengan aktivitas mengedepankan akal dalam banyak masalah. Hingga akhirnya ia bertaubat dan menuliskan bait syair setelah pertaubatannya :
نِهَايَةُ إِقْدَامِ الْعُقُولِ عِقَالُ … وَغَايَةُ سَعْيِ الْعَالَمِينَ ضَلَالُ
وَأَرْوَاحُنَا فِي وَحْشَةٍ مِنْ جُسُومِنَا … وَحَاصِلُ دُنْيَانَا أَذَى وَوَبَالُ
وَلَمْ نَسْتَفِدْ مِنْ بَحْثِنَا طُولَ عُمْرِنَا … سِوَى أَنْ جَمَعْنَا فِيهِ: قِيلَ وَقَالُوا
“Kesudahan dari mengedepankan akal adalah iqal/kebingungan * Dan hasil dari semua usaha yang dikerahkan adalah kesesatan.
Dan jiwa-jiwa kita terasa liar di dalam jasad kita * Kesudahan dari dunia kita adalah gangguan serta musibah.
Dan kami tidak mengambil manfaat dari semua pembahasan kami sepanjang hayat kami *** kecuali hanya mengumpulkan “katanya” dan “katanya”. (Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah : 1/244).
Adapun jika kita diharuskan mempelajarinya di dalam kampus, maka masing-masing kita menjadi timbangan bagi diri kita. Allah ta’ala berfirman :
بَلِ الْأِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ
“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, (14) meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya (15). (Al-Qiyaamah : 14-15)
Jika sekiranya kita tidak memiliki latar bel
JATUH TEMPO
Alhamdulillahidzi bini'matihi tatimmus salihaat
Dakwah Centre Bimbingan Islam (MARKAZ BIAS) adalah milik ummat...
Telah ditempati sejak bulan September 2017 untuk aktivitas dakwah Islam...
Dan telah menghasilkan banyak karya yang bermanfaat bagi kaum muslimin....
📝Berikut diantaranya Program Dakwah Bimbingan Islam
▪20 + Program Bermanfaat
(Channel Dakwah, BiasTV, Website, Sosial, Pendidikan, Konsultasi, Konten dll)
▪ 200+ sukarelawan dakwah dan rumah tahfidz
▪ 200+ tempat dakwah dan penerima manfaat sosial
▪ 20.000 + anggota baru setiap angkatan
▪ 100.000 + member diseluruh dunia
▪100.000+ Jangkauan penyebaran dakwah baik online maupun offline
🔅 BERSAMA MENJADI PEJUANG DAKWAH 🔅
Pahala dakwah akan terus mengalir kepada anda.
HANYA Dengan Rp 100.000
Anda bagian dari 5000 Pejuang yang membantu menutupi Cicilan Hutang Markas di bulan Desember yang sudah JATUH TEMPO
Semoga Allah memudahkan anda sebagaimana anda mudah untuk menjadi pejuang dakwah
🏡 Donasi Markas Dakwah dapat disalurkan melalui :
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank : 451
| No. Rek : 710-3000-507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
Konfirmasi Transfer Hanya Via WhatsApp & Informasi ; 0811-280-0606
SWIFT CODE : BSMDIDJA
▪ Format Donasi : Markas Dakwah#Nama#Nominal#Tanggal
📝 Cantumkan Kode 25 di nominal transfer anda..
Contoh : 100.025
📝 Laporan Donasi Program bisa diakses di
Sumber: https://bimbinganislam.com/laporan-progress-donasi-markas/
- We Share Because We Care -
Jazakallah khair
maka telah diketahui bersama sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم
“Pakailah pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat kalian dengan kain putih” (HR Abu Dawud no 3878, At-Thirmidzi no 944, Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah hal 82).
Demikian juga warna kuning (diperbolehkan) bagi kaum lelaki. Telah abasah dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhumaa ia berkata,
وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَصْبِغُ بِهَا فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبغَ ِبهَا
Adapun warna kuning maka aku telah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelupkan pakaian ke warna kuning, maka aku suka untuk mencelupkan pakaian dengan warna kuning” (HR Al-Bukhari no 164, Abu Dawud no 1772, Ahmad no 5316).
Dan dalam sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar beliau berkata
وَقَدْ كَانَ يَصْبِغُ بِهَا ثِيَابَهُ كُلَّهَا حَتَّى عِمَامَتَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan seluruh pakaiannya ke warna kuning, bahkan sorban beliau juga” (HR Abu Dawud no 4064).
Hadits-hadits diatas menunjukan akan bolehnya memakai pakaian berwarna hitam, hijau, dan merah bagi para wanita dengan nash dari Nabi, dan ini juga berlaku bagi kaum lelaki berdasarkan hukum asal yang telah lalu penjelasannya, kecuali warna merah yang khusus bagi para wanita. Adapun warna putih dan kuning maka boleh juga bagi wanita dengan dasar hukum asal yang telah lalu penjelasannya tentang bolehnya menggunakan seluruh warna karena tidak ada dalil yang melarangnya atau mengkhususkannya.
Dan perlu untuk diingatkan bahwasanya warna-warna yang menggoda (menarik perhatian) atau yang menyala (mengkilat) yang dipakai oleh para wanita pemuja nafsu, pengucap kata-kata kotor dan hina, maka warna-warna tersebut menjadi terlarang dari sisi larangan bertasyabbuh dan juga bisa membangkitkan gejolak syahwat.
Demikian juga halnya dengan warna-warna pakaian yang khususnya dipakai oleh sebagian jama’ah-jama’ah keagamaan, maka dilarang sengaja mengikuti model dan warna yang merupakan ciri-ciri jama’ah-jama’ah tersebut, karena kawatir akan timbulnya bid’ah dalam agama. Sebagaimana pula dilarang bermodel (bergaya) dengan warna bendera negara tertentu atau group atau perkumpulan tertentu –terutama yang berasal dari negara kafir- karena hal ini akan mengantarkan kepada syirik mahabbah dan ta’dziim, serta penerapan al-walaa wa al-baroo yang bukan pada tempatnya.
(Diterjemahkan dengan bebas dan sedikit perubahan oleh Firanda Andirja dari fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuus Al-Jazaairi no 992).
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
Apakah boleh seorang wanita menggunakan jilbab selain warna hitam?
Beliau –rahimahullah- menjawab :
“Seakan-akan penanya berkata : Apakah boleh seorang wanita memakai khimar (penutup jilbab bagian atas kepala?) selain berwarna hitam?. Maka jawabannya adalah : Iya, boleh bagi sang wanita untuk memakai khimar yang selain berwarna hitam dengan syarat khimar tersebut tidak seperti gutrohnya lelaki (gutroh adalah kain penutup kepala yang sering digunakan oleh penduduk Arab Saudi-pent).
Kalau khimar tersebut seperti gutrohnya lelaki maka hukumnya haram karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kaum wanita dan melaknat para wanita yang menyerupai kaum lelaki. Adapun jika khimarnya berwarna putih akan tetapi wanita tersebut tidak memakainya sebagaimana cara pakai lelaki maka jika penggunaan khimar berwarna putih tersbut merupakan adat penduduk negerinya maka tidak mengapa untuk dipakai.
Adapun jika pemakaian khimar putih tidak biasa menurut adat mereka maka tidak boleh dipakai karena hal itu merupakan pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang terlarang” (Fatwa Nuur “alaa Ad-Darb)
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa
📒 Pakaian Warna-Warni Muslimah
Pertanyaan :
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Maaf ingin bertanya ustadz, pertanyaan ini saya tujukan untuk Ustadz Firanda. Saya ingin Ustadz Firanda yang menjawab. Bagamana muslimah yang baik dalam berpakaian dan warna apa saja yang di bolehkan. Dan apakah warna pink untuk pakaian muslimah tidak boleh ?
(Dari Ummu Mazki Di Bontang Anggota Group WA Bimbingan Islam T04-84 )
Jawaban :
وعليكم السلام ورحمة اللّه و بركاته
Terimakasih Ummu Mazki, kami memohon kepada Allah dan berharap semoga dengan lantaran pertanyaan dari anti ini, Allah menambahkan hidayah dan taufik kepada para wanita muslimah agar senantiasa berbusana sesuai dengan tuntunan syariat islam.
Berikut ini kami tampilkan jawaban dari tulisan hasil karya Ustadz Firanda Andirja hafidzahullah ta’ala ketika menjawab pertanyaan serupa :
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan busana muslimah :
Bolehkah wanita memakai busana muslimah berwarna selain hitam (tetapi cenderung ke warna gelap,mis : biru tua, coklat, ungu tua )?
Bolehkah wanita memakai busana muslimah yang bermotif,bercorak batik /bordir/renda/payet?
Mohon penjelasan dari Ustadz berkaitan dengan masalah tersebut, Jazakumullahu khoiron
Jawab :
Syaikh Muhammad Ali Farkuus yang berasal dari Algeria pernah ditanya dengan suatu pertanyaan yang ada hubungannya dengan pertanyaan di atas. Maka saya akan menukilkan pertanyaan dan jawaban beliau –hafidzohulloh-.
Pertanyaannya :
Sebagian wanita memakai khimar (tutup kepala/jilbab bagian atas-pent) yang warnanya berbeda dengan warna ‘abaa’ah (jilbab bagian bawah-pent), terkadang hal ini menarik perhatian. Apakah boleh memakai jilbab yang warnanya berbeda antara jilbab atasan dan bawahannya? Warna-warna khimar apakah yang manakah yang mungkin dikatakan warna yang disyari’atkan?, semoga Allah membalas kebaikan bagi anda.
Jawaban beliau –hafidzohulloh- :
Segala puji bagi Allah Robbul ‘aalamiin, sholawat dan salam kepada Nabi yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, dan juga bagi keluarganya dan para sahabatnya hingga hari kiamat.
Yang wajib dalam permasalahan khimar adalah :
Pertama : khimar (atasan jilbab) tersebut hendaknya dijulurkan dari atas kepalanya dan dilipat di lehernya, juga menjulurkannya di atas dadanya, sehingga ia menjulurkan jilbabnya dengan menutup kepalanya dan menutup lehernya, kedua telinganya, dadanya dan yang semisalnya, karena Allah berfirman :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya” (QS An-Nuur : 31).
Kedua : Sebagaimana telah diketahui bahwasanya para wanita dan para lelaki sama dalam permasalahan hukum selama tidak ada dalil yang membedakan antara para wanita dan para lelaki dalam hukum. Demikian juga bahwasanya hukum asal dalam warna-warna pakaian adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang warna-warna tersebut bagi kaum lelaki dan kaum wanita atau ada dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum lelaki atau dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum wanita.
Mengenai warna-warna (yang diperbolehkan untuk jilbab para wanita) adalah sebagai berikut :
Adapun warna hitam untuk (jilbab) para wanita maka telah datang dalam hadits Ummu Salamah -radhiallahu ‘anhaa- ia berkata
:« لَمَّا نَزَلَتْ ?يُدَنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ? خَرَجَ نِسَاءُ الأنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأكْسِيَةِ »
Tatkala turun firman Allah (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) maka keluarlah para wanita dari kaum Anshoor, seakan-akan di atas kepala-kepala mereka ada pakaian seperti burung-burung gagak” (HR Abu Dawud no 4101 dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal 82).
Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung gagak dari sisi warna hitamnya.
Dalil lain yang menunjukan akan bolehnya warna hitam bagi para wanita adalah hadits Ummu Kholid, ia berkata
« أُتي الن
📜 *RANGKAIAN DAUROH ILMIYAH BIMBINGAN ISLAM 22-25 DESEMBER 2017*
YOGYAKARTA - Alhamdulillah atas nikmat Allāh Subhānahu wa Ta’āla, rangkaian kegiatan "Dauroh Ilmiyah Bimbingan Islam" yang diadakan oleh BimbinganIslam.com (BiAS) mulai hari Jumat sd Senin, 05 sd 07 Rabiul Tsani 1439 H / 22-25 Desember 2017. Bertempat di masjid sekitaran kampus UGM dan UNY, kegiatan berjalan dengan lancar.
Kegiatan rangkaian acara Dauroh Ilmiyah Bimbingan Islam kali ini mengangkat tiga tema, yaitu:
✅Pada hari Jumat 5 Rabiul Tsani 1439 H/ 22 Desember 2017 Dauroh Hadits Arbain ke 4, yang diisi oleh Ustadz Dr. Sufyan Baswedan Lc MA di Masjid Kampus UGM. Beliau merupakan doktor hadits Universitas Islam Madinah, Alhamdulillah di tengah kesibukan yang padat, Beliau masih berkenan untuk mengisi di Jogja setiap sebulan sekali.
✅ Kemudian, pada hari Sabtu pagi 05 Rabiul Tsani 1439 H/23 Desember 2017 di Masjid Nurul Ashri Deresan, kegiatan dauroh dilanjutkan dengan jadwal Dauroh Tafsir bersama Ustadz Ammi Nur Baits.
✅ Rangkaian Dauroh Ilmiah ditutup dengan Dauroh Tauhid ke dua bersama Ustadz Muhammad Romelan Lc MA, pada hari Senin tanggal 7 Rabiul Tsani 1439 H / 25 Desember 2017.
Kegiatan Dauroh Ilmiah Bimbingan Islam ini digagas oleh Tim Bidang Pendidikan bimbinganislam.com yang bertujuan untuk menebarkan ilmu syar'i dengan lebih terstruktur melalui dauroh rutin. Hal ini secara umum pula dalam rangka menyebarkan manfaat dakwah secara lebih luas kebanyak kalangan.
Rangkaian dauroh berseri ini dilatar belakangi oleh keinginan mengajak kaum muslimin agar memiliki semangat mempelajari dan menggali ilmu agama dari dasar dan dengan pola yang terstruktur, sehingga lebih tertata perkembangan ilmu syar'i yang didapat.
Terlebih dengan banyaknya informasi-informasi hoax yang bertebaran di internet maupun sosial media, diharapkan dengan mengajarkan kepada masyarakat secara umum berupa kajian-kajian ilmiyah yang terstruktur maka masyarakat akan lebih mudah membentengi akidah mereka dengan keilmuan yang didapat ketika fitnah syubhat di media massa semakin kuat.
Alhamdulillah, antusiasme yang tinggi dari kaum muslimin untuk mengikuti rangkaian dauroh ini bisa dilihat dari ratusan jumlah peserta yang hadir, meskipun tanggal 22-25 desember merupakan moment liburan.
“Diharapkan dengan dauroh rutin bulanan ini, para peserta dapat belajar secara terstruktur, ilmiyah dan mengenal dasar-dasar dalam ilmu agama secara baik, tidak hanya secara tematik. Dengan itu perkembangan keilmuan dapat meningkat, dan menjadi landasan yang kuat dalam membangun pondasi akidah di tengah banyaknya fitnah syubhat pemikiran saat ini, serta dapat menjadi landasan mereka beramal sehari-hari. Hal ini pula diharapkan dapat memberikan perubahan bagi masyarakat secara umum kedepannya", ujar Pak Abdullah selaku Koordinator Bidang Pendidikan BimbinganIslam.com, Yogyakarta (08/01/18).
Insyaalloh, kegiatan Dauroh Ilmiyah Bimbingan Islam akan terus diadakan setiap bulan sekali. Beberapa dauroh mendatang yang in syaa Allah akan coba terus untuk dirutinkan, seperti dauroh Tauhid, manhaj, Tafsir, Hadits. “Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla mudahkan kita untuk terus istiqomah dalam mempelajari ilmu agama ini, terlebih secara sistematis dan teratur", tutup Pak Abdullah.
*Reportase :*
Yogyakarta 08/1/2018
Tim Pendidikan BimbinganIslam
sumber : https://bimbinganislam.com/rangkaian-dauroh-ilmiyah-bimbingan-islam-22-25-desember-2017/
➖➖➖➖➖
⭕ Ayo ikut Saham Akherat
Pembelian Rumah U/ Markaz Dakwah & Studio Bimbingan Islam
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank : 451
| No. Rek : 710-3000-507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
Konfirmasi Transfer Via WA/SMS & Informasi ; 0811-280-0606 (BIAS CENTER 06)
💡 Mirip Kebo - Ustadz Afifi Abdul Wadud
⏳ Video 50 Detik
قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dari ‘Aisyah berkata: Hindun, istri Abu Sofyan, berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak memberi belanja yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil tanpa pengetahuannya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)” (HR Bukhori dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)
Keempat : Memperingatkan Kaum Muslimin Dari Kejelekan
Hal ini diantaranya: Jarh wa ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits. Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya.
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasehat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله : أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ
“Fatimah binti Qois berkata: “Saya datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”.
Kelima : Ghibah Dibolehkan Kepada Seseorang Yang Terang-Terangan Menampakkan Kefasikannya Atau Kebid’ahannya
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya.
Keenam : Untuk Pengenalan
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’roj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
Demikian, semoga bermanfaat..
Waloohu A’lam
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah
Sumber: https://bimbinganislam.com/hukum-menonton-infotainment/
a berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata: “Di manakah Malik bin Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab: ”Ia munafik, tidak cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”, Maka Nabi berkata: “Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah?, dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlash karena Allah”. [Bukhari dan Muslim]
حَتَّى بَلَغَ (رَسُولُ الهِر ) تَبُوكَ فَقَالَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي الْقَوْمِ بِتَبُوكَ مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ
“Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai di Tabuk, dan sambil duduk beliau bertanya: “Apa yang dilakukan Ka’ab?”, (Yakni mengapa dia tidak keluar berjihad ke Tabuk ini) maka ada seorang laki-laki dari Bani Salamah menjawab: ”Wahai Rasulullah, ia telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal berkata: “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya kebaikan”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam”. [Bukhori dan Muslim]
BERTAUBAT DARI GHIBAH
Berkata Syaikh Utsaimin : “Ghibah yaitu engkau membicarakannya dalam keadaan dia tidak ada, dan engkau merendahkannya di hadapan manusia sedangkan dia tidak ada. Untuk masalah (bertaubat dari ghibah) ini para ulama berselisih. Di antara ulama ada yang berkata (bahwasanya) engkau (yang menggibah) harus datang kepadanya (yang dighibahi) lalu berkata kepadanya: “Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan-mu di hadapan orang lain, maka aku mengharapkan-mu memaafkan-ku dan merelakan (perbuatan) ku”.
Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang kepadanya, tetapi ada perincian: Jika yang dighibahi telah mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang engkau mengghibahinya. Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan. Pendapat kedua ini lebih benar, yaitu bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya, maka cukuplah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang kamu mengghibahinya dan engkau memohon ampun untuknya. Engkau bisa berkata: “Ya Allah ampunilah dia”. (Syarah Riyadlus Sholihin 1/78)
Ibnu Katsir berkata: “para ulama lain berkata: “Tidaklah disyaratkan baginya (yang mengghibah) meminta penghalalan (perelaan dosa ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi. Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah mengghibahinya, maka terkadang malah orang yang dighibahi tersebut lebih tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si pengghibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang itu di tempat-tempat yang dia telah mencela orang itu”. (Tafsir Ibnu Katsir 4/276)
CARA MENGHINDARKAN DIRI DARI GHIBAH
Untuk menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. [Qaf : 18]
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesunggu
at yang ada maka pendapat yang benar adalah Sunnah apabila memang terdapat sebab yang membolehkannya. Hal ini disebabkan 2 alasan:
Pertama, menjamak adalah termasuk keringanan (rukshsoh) yang dikaruniakan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla, sedangkan Alloh Ta’ala senang apabila rukhshohnya diambil. Kedua, karena dalam perbuatan ini (menjamak) terkandung sikap meneladani Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau pun melakukan jamak ketika ada sebab yang membolehkan untuk itu.
Dan bahkan sangat mungkin perkara ini termasuk dalam keumuman sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat sholat yang kulakukan.” (HR. Bukhori) (disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 548-549).
Menjamak Sholat Ketika Turun Hujan
Sebagaimana telah disinggung di atas, turunnya hujan merupakan salah satu sebab yang membolehkan kita menjamak sholat Maghrib dengan sholat ‘Isya. Hujan yang dimaksud di sini adalah hujan yang sampai membuat pakaian yang terkena menjadi basah karena air hujan yang jatuh banyak dan cukup deras, adapun gerimis yang tidak membuat baju menjadi basah maka tidak boleh menjamak sholat karenanya (diringkas dari Syarhul Mumti’ halaman 555).
Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah Ta’khir ?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan: “Yang lebih utama adalah melakukannya dengan jamak taqdim (di waktu sholat yang pertama), karena yang demikian itu lebih mencerminkan sikap lemah lembut kepada manusia, karena itulah anda akan jumpai bahwa orang-orang semuanya pada saat hujan turun tidak melakukan jamak kecuali dengan cara jamak taqdim.” (Syarhul Mumti’halaman 563).
Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah Sholat ‘Isyak ?
Memang apabila di awal pelaksanaan sholat ‘Isya yang dijamak disyaratkan keadaan masih hujan, adapun apabila sholat ‘Isyak sudah dilakukan kemudian di tengah-tengah tiba-tiba hujan berhenti maka tidaklah disyaratkan hal itu terus menerus ada sampai selesainya sholat yang kedua (‘Isya). Demikian pula berlaku untuk sebab yang lainnya. Misalnya apabila ada seseorang yang karena sakitnya terpaksa harus menjamak sholat kemudian tiba-tiba di tengah sholatnya sakit yang dideritanya menjadi hilang maka jamak yang dilakukannya tidak menjadi batal; karena keberadaan udzur secara terus menerus hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan
(Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 574).
Bolehkah Orang Yang Sholat di Rumah Menjamak ?
Apabila hujan turun maka seorang muslim yang wajib menunaikan sholat jama’ah (lelaki) dibolehkan menjamak sholat (apabila dia bersama imam di masjid) atau sholat di rumahnya (karena hujan termasuk uzdur/penghalang yang membolehkan untuk tidak menghadiri sholat jama’ah di masjid).
Jamak tetap boleh dilakukan (di masjid) walaupun jalan yang dilaluinya untuk mencapai masjid sudah terlindungi dengan atap (sehingga tidak sulit baginya menghadiri jama’ah sholat ‘Isya nantinya ketika hujan belum reda) hal ini supaya dia tidak kehilangan pahala sholat berjama’ah.
Adapun apabila dia sholat di rumahnya karena sakit (atau karena udzur lain) sehingga tidak bisa hadir di masjid maka dia tidak boleh menjamak; karena tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan jamak tersebut (karena kewajibannya sudah gugur dengan udzur-nya tersebut). Adapun kaum wanita (yang ada di rumah), maka tidak boleh menjamak sholat karena hujan sebab tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan menjamak itu, dan karena mereka bukan termasuk orang yang diwajibkan menghadiri sholat berjama’ah. (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 560).
Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?
Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak ini adalah tidak boleh ada jeda waktu panjang yang memisahkan antara keduanya, sehingga harus dikerjakan secara berturut-turut. Meskipun dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh tidak mempersyaratkan demikian, dan pendapat beliau cukup kuat. Namun yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak apabila tidak bersambung/berurutan langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan (menurut yang mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran lamanya iqomah dik